Tanya: Bukankah Ali bin Abi Thalib telah membai’at khalifah? Artinya kekhalifahan itu benar bagi Ali?
Jawab: Syiah berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak membai’at siapapun. Karena ia mengaku bahwa dirinya-lah khalifah yang telah ditetapkan Tuhan. Namun ternyata kekhilafahan jatuh ke tangan orang lain, yang kemudian “kemaslahatan bersama” menuntutnya untuk menyertai mereka. Ia sendiri pernah berkata:
“Aku melihat bahwa jika aku bersikeras mengambil hakku (kekhalifahan), maka Islam yang ada sekarang ini pun juga akan musnah.”[1]
Ia tidak menemukan cara lain selain menyertai khalifah-khalifah yang ada dan membimbing mereka.
Bahkan ketika sebagian orang-orang Arab menolak untuk membayar zakat, dan akhirnya mereka dikecam, beliau pun juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam. Namun tidak selamanya seperti itu, pada saat-saat tertentu ia menguak kenyataan yang ada dan berseru mengingatkan masyarakat akan hak-haknya.
Menurut para perawi Ahlu Sunah, Ali bin Abi Thalib membai’at khalifah sepeninggal Fathimah Az-Zahra. Namun selama Fathimah Az-Zahra masih hidup, ia terus menerus kesal terhadap Abu Bakar dan tidak mau berbicara dengannya karena marah.[2]
Anggap saja Ali bin Abi Thalib memang betul telah membai’at khalifah sepeninggal istrinya. Namun seluruh ahli hadits bersepakat bahwa Fathimah Az-Zahra sampai akhir hayatnya tidak pernah membai’at bahkan berpaling dari mereka.
Ibnu Hajar dalam Syarah Shahih Bukhari menukilkan: “Fathimah Az-Zahra marah terhadap Abu Bakar dan selalu menjauhinya. Ia tetap dalam keadaan seperti itu hingga enam hari, baru setelah itu ia meninggal dunia. Ali menyolati jasad istrinya dan ia tidak memberitahukan hal itu kepada Abu Bakar.”[3]
Kini kami bertanya, bukankah Fatimah Az-Zahra juga diakui oleh Shahih Bukhari sebagai wanita terbaik di muka bumi? Lalu mengapa ia tidak membai’at Abu Bakar? Jika Abu Bakar berhak untuk menjadi khalifah, lalu mengapa putri nabi ini marah terhadapnya? Rasulullah Saw pernah bersabda:
“Barang siapa mati dan tidak membai’at serta mengakui khalifah/imam di jamannya, maka ia mati sebagai matinya orang di jaman jahiliah.”[4]
Lalu salah satu dari dua pertanyaan ini harus dijawab:
1. Putri nabi Muhammad Saw tidak membai’at Abu Bakar dan tidak mengakuinya. Apakah ia mati sebagai orang jahiliah?
2. Apakah orang yang mengaku khalifah itu sebenarnya bukan khalifah? Yakni ia tidak berhak untuk menjabat sebagai khalifah?
Kita tidak bisa menjawab “ya” untuk pertanyaan pertama. Karena putri Rasulullah Saw adalah orang yang telah disucikan oleh Allah Swt dari noda dan kesalahan; nabi pun berkata tentangnya: “Fathimah adalah penghulu wanita penghuni surga.”[5]
Beliau juga bersabda, “Wahai Fathimah, sesungguhnya Allah Swt marah karena amarahmu dan Ia ridha karena keridhaanmu.”[6]
Lalu jika demikian, maka Fathimah Az-Zahra adalah perempuan suci yang tidak mungkin ia mati sebagai orang jahiliah.
Kita simpulkan, Fathimah Az-Zahra tidak membai’at khalifah itu karena baginya pengaku khalifah itu bukan khalifah yang layak. Sampai akhir hayat ia dalam hatinya mengakui hanya seorang lah khalifah yang sah, yaitu suaminya, Ali bin Abi Thalib.
Menurut Bukhari (jika memang itu benar), Ali bin Abi Thalib membai’at khalifah setelah enam bulan. Lalu jika memang ia layak dibai’at kenapa harus tertunda sekian lama?
Sungguh aneh jika anda hanya mengandalkan sepenggal kisah sejarah bahwa “Ali membai’at khalifah”, itu saja, sedang anda melupakan segala kesedihan yang pernah menimpa Fathimah Az-Zahra selama hidupnya, sepeninggal nabi.
Dengan penjelasan ini dapat kami jelaskan bahwa bai’at Ali bin Abi Thalib setelah enam bulan tersebut tidaklah berarti apa-apa. Karena khalifah sama sekali tidak membutuhkan bai’at darinya; yakni ia (khalifah) telah duduk di tahta kekhalifahan dengan nyaman saat itu juga. Dan, Ali pun bukan orang yang bisa meninggalkan kewajiban hanya karena seorang istri menghalanginya.
Apapun yang dilakukan Ali bin Abi Thalib bersama khalifah masa itu hanya sebatas menyertai dan mengarahkan khalifah demi terjaganya Islam dari perpecahan dan kemusnahan. Bahkan perlu ditambahkan, bahwa bai’at Ali bin Abi Thalib berdasarkan paksaan dari pihak khalifah. Kenyataan tersebut dapat kita fahami dari sepucuk surat yang pernah ditulis oleh Mu’awiyah kepada Ali bin Abi Thalib.
Jawab: Syiah berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak membai’at siapapun. Karena ia mengaku bahwa dirinya-lah khalifah yang telah ditetapkan Tuhan. Namun ternyata kekhilafahan jatuh ke tangan orang lain, yang kemudian “kemaslahatan bersama” menuntutnya untuk menyertai mereka. Ia sendiri pernah berkata:
“Aku melihat bahwa jika aku bersikeras mengambil hakku (kekhalifahan), maka Islam yang ada sekarang ini pun juga akan musnah.”[1]
Ia tidak menemukan cara lain selain menyertai khalifah-khalifah yang ada dan membimbing mereka.
Bahkan ketika sebagian orang-orang Arab menolak untuk membayar zakat, dan akhirnya mereka dikecam, beliau pun juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam. Namun tidak selamanya seperti itu, pada saat-saat tertentu ia menguak kenyataan yang ada dan berseru mengingatkan masyarakat akan hak-haknya.
Menurut para perawi Ahlu Sunah, Ali bin Abi Thalib membai’at khalifah sepeninggal Fathimah Az-Zahra. Namun selama Fathimah Az-Zahra masih hidup, ia terus menerus kesal terhadap Abu Bakar dan tidak mau berbicara dengannya karena marah.[2]
Anggap saja Ali bin Abi Thalib memang betul telah membai’at khalifah sepeninggal istrinya. Namun seluruh ahli hadits bersepakat bahwa Fathimah Az-Zahra sampai akhir hayatnya tidak pernah membai’at bahkan berpaling dari mereka.
Ibnu Hajar dalam Syarah Shahih Bukhari menukilkan: “Fathimah Az-Zahra marah terhadap Abu Bakar dan selalu menjauhinya. Ia tetap dalam keadaan seperti itu hingga enam hari, baru setelah itu ia meninggal dunia. Ali menyolati jasad istrinya dan ia tidak memberitahukan hal itu kepada Abu Bakar.”[3]
Kini kami bertanya, bukankah Fatimah Az-Zahra juga diakui oleh Shahih Bukhari sebagai wanita terbaik di muka bumi? Lalu mengapa ia tidak membai’at Abu Bakar? Jika Abu Bakar berhak untuk menjadi khalifah, lalu mengapa putri nabi ini marah terhadapnya? Rasulullah Saw pernah bersabda:
“Barang siapa mati dan tidak membai’at serta mengakui khalifah/imam di jamannya, maka ia mati sebagai matinya orang di jaman jahiliah.”[4]
Lalu salah satu dari dua pertanyaan ini harus dijawab:
1. Putri nabi Muhammad Saw tidak membai’at Abu Bakar dan tidak mengakuinya. Apakah ia mati sebagai orang jahiliah?
2. Apakah orang yang mengaku khalifah itu sebenarnya bukan khalifah? Yakni ia tidak berhak untuk menjabat sebagai khalifah?
Kita tidak bisa menjawab “ya” untuk pertanyaan pertama. Karena putri Rasulullah Saw adalah orang yang telah disucikan oleh Allah Swt dari noda dan kesalahan; nabi pun berkata tentangnya: “Fathimah adalah penghulu wanita penghuni surga.”[5]
Beliau juga bersabda, “Wahai Fathimah, sesungguhnya Allah Swt marah karena amarahmu dan Ia ridha karena keridhaanmu.”[6]
Lalu jika demikian, maka Fathimah Az-Zahra adalah perempuan suci yang tidak mungkin ia mati sebagai orang jahiliah.
Kita simpulkan, Fathimah Az-Zahra tidak membai’at khalifah itu karena baginya pengaku khalifah itu bukan khalifah yang layak. Sampai akhir hayat ia dalam hatinya mengakui hanya seorang lah khalifah yang sah, yaitu suaminya, Ali bin Abi Thalib.
Menurut Bukhari (jika memang itu benar), Ali bin Abi Thalib membai’at khalifah setelah enam bulan. Lalu jika memang ia layak dibai’at kenapa harus tertunda sekian lama?
Sungguh aneh jika anda hanya mengandalkan sepenggal kisah sejarah bahwa “Ali membai’at khalifah”, itu saja, sedang anda melupakan segala kesedihan yang pernah menimpa Fathimah Az-Zahra selama hidupnya, sepeninggal nabi.
Dengan penjelasan ini dapat kami jelaskan bahwa bai’at Ali bin Abi Thalib setelah enam bulan tersebut tidaklah berarti apa-apa. Karena khalifah sama sekali tidak membutuhkan bai’at darinya; yakni ia (khalifah) telah duduk di tahta kekhalifahan dengan nyaman saat itu juga. Dan, Ali pun bukan orang yang bisa meninggalkan kewajiban hanya karena seorang istri menghalanginya.
Apapun yang dilakukan Ali bin Abi Thalib bersama khalifah masa itu hanya sebatas menyertai dan mengarahkan khalifah demi terjaganya Islam dari perpecahan dan kemusnahan. Bahkan perlu ditambahkan, bahwa bai’at Ali bin Abi Thalib berdasarkan paksaan dari pihak khalifah. Kenyataan tersebut dapat kita fahami dari sepucuk surat yang pernah ditulis oleh Mu’awiyah kepada Ali bin Abi Thalib.
[1] Nahjul Balaghah, surat ke-62.
[2] Shahih Bukhari, jld. 4, hlm. 42; jld. 5, hlm. 82; jld. 8, hlm. 30.
[3] Fathul Bari, kitab Al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, jld. 7, hlm. 493, hadits 4240 dan juga kitab Al-Faraidh, jld. 12, hlm. 5, hadits 6726.
[4] Shahih Bukhari, jld. 6, hlm. 22, bab Man Farraqa Amr Al-Muslimin; Sunan Al-Baihaqi, jld. 8, hlm. 156.
[5] Ibid, jld. 4, hlm. 25, bab Manaqib Qarabah Rasulullah.
[6] Ibid, jld. 4, hlm. 210; Mustadrak Al-Hakim, jld. 3, hlm. 154.
Oleh Muhammad Thabari, dalam bukunya yang berjudul “Jawaban Pemuda Syiah atas Pertanyaan-Pertanyaan Wahabi”
Categories:
Bahasa Indonesia
0 comments:
Post a Comment
براہ مہربانی شائستہ زبان کا استعمال کریں۔ تقریبا ہر موضوع پر 'گمنام' لوگوں کے بہت سے تبصرے موجود ہیں. اس لئےتاریخ 20-3-2015 سے ہم گمنام کمینٹنگ کو بند کر رہے ہیں. اس تاریخ سے درست ای میل اکاؤنٹس کے ضریعے آپ تبصرہ کر سکتے ہیں.جن تبصروں میں لنکس ہونگے انہیں فوراً ہٹا دیا جائے گا. اس لئے آپنے تبصروں میں لنکس شامل نہ کریں.
Please use Polite Language.
As there are many comments from 'anonymous' people on every subject. So from 20-3-2015 we are disabling 'Anonymous Commenting' option. From this date only users with valid E-mail accounts can comment. All the comments with LINKs will be removed. So please don't add links to your comments.